Bogor-BII
Persoalan sengketa lahan di daerah Kabupaten Bogor sampai saat ini belum juga teratasi. Bagaimana tidak, kabupaten dengan luas wilayah mencapai 298.838.304 hektar ini nyaris tidak terpantau oleh pihak Pemerintah setempat.
Polemik sengketa lahan (tanah-red) ini tentunya sangat kompleks, dan ini seharusnya menjadi tantangan bagi pemerintah daerah untuk berkomitmen dengan cara terintegrasi dan sinegritas yang kuat dalam penanganannya. Dan ini diperlukan peran Kantor Pertahanan yang ekstra, khususnya berkaitan dengan proses sertifikasi tanah aset, sehingga sengketa lahan tidak akan terjadi pada area yang sudah bersertifikat maupun yang masih berupa girik (letter C-red).
Namun sayangnya, permasalahan sengketa lahan di daerah bersemboyan “Kota Beriman” ini lebih banyak didominan oleh para mafia tanah (Biong-Red). Tidak luput peranan para mafia tanah itu diduga juga didukung oleh oknum aparatur desa. Seperti yang dialami oleh para ahli waris Inah Bin Daih.
Melalui tim kuasa yang dipercaya oleh para ahli waris Inah Bin Daih, Ari Ambon mengaku sudah beberapa kali mempertanyakan kepastian status tanah yang berada di lingkungan desa Rawa Panjang, kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor ke pihak aparatur desa.
“Saya sudah sejak tahun lalu mempertanyakan kepastian status tanah atas nama Inah Bin Daih ini ke kantor desa. Namun belum juga ada titik temu. Dan saat ini dihadapan pak Sekdes (Sekretaris Desa-red), kita hanya ingin mempertanyakan tanah itu posisinya dimana sekarang. Karena memang sewaktu adanya penggusuran, para ahli waris bingung batas tanah mereka dimana. Meski secara fakta sudah tergambar dan sudah ada pengukuran. Ini gambar fisiknya (sambil menunjukkan bukti berupa gambar girik-Red),” ujar Ari saat berargument dengan Sekdes Rawa Panjang, Al Idrus beberapa hari lalu dikantor desa Rawa Panjang.
Sekdes Al Idrus yang tangannya tampak gemetaran saat ditanya Ari Ambon mengaku mengetahui riwayat permasalahan tanah itu dari tahun 1980-an.
“Iya kita sedikit tahu permasalahan riwayat tanah itu, dari tahun 80-an lagih masih saya main bola dilapangan itu. Lagian kan saya udah bilang sama abang (Ari-Red) dan sama anaknya (anak ahli waris-Red), lu pada waktu itu ada orang tua kenapa ga pada nanyain. Nah kalau udah yang namanya cicit (bukan kita ga menghargai ahli waris bang), itu dijual belikan waktu itu ga pake surat. Lagih jaman dulu, jual tanah itu ditukar pake beras. Pemerintah sekarang baru melakukan penertiban. Dibawah tahun 91, riwayat di Rawa Panjang saya ngerti yang udah dijual belikan ama kakek neneknya tukar beras tukar kambing. Kalau hanya cerita seperti itu bukan sedikit,”ujar Al Idrus seraya meyakinkan tim yang dikuasakan ahli waris dengan logat Betawinya yang kental.
Namun penjelasan Al Idrus ternyata tidak membuat Ari Ambon menerima begitu saja.
Menurut pria yang kerap tampil dipermukaan umum untuk menyuarakan nasib warga kota Bogor yang terzolimin, pernyataan Sekdes Al Idrus tidak ada kaitannya, dan tidak nyambung.
“Begini pak Sekdes, kalau kitakan bicara dengan alat bukti. Apa yang tadi bapak sampaikan itu bukan suatu kejadian dan tidak sesuai dengan bukti ini (sambil menunjukkan berkas-Red). Jadi tidak nyambung, karena kita disini mau membicarkan bukti falid. Bukti yang falid inilah yang mau kita cocokkan antara gambar yang ada, posisinya dimana, serta tanah tersebut luasnya berapa (sesuai letter C kah?), sehingga kita hanya mencocokkan saja,”tutur Ari.
Pernyataan Ari langsung ditampik oleh Al Idrus. Pria yang mulai tercatat sebagai pegawai dikantor desa Rawa Panjang sejak tahun 2008 mengatakan, luas tanah yang ada memang sudah diperjual belikan.
“Kalau di letter C memang tidak akan berubah, karena memang buat riwayat. Makanya saya berpesan, bukan berarti kita menghalang-halangi, dan kalau memang ahli waris pengen tahu, ya coba aja. Kalau memang sidah berubah, saya minta jangan dipoto saat saya nunjukin. Saya minta, ini buku saya buka, tapi jangan dipoto,” ujar Al Idrus sambil melarang pihak media dan perwakilan tim kuasa untuk mempoto berkas yang ditunjukkannya.
Namun saat dipertanyakan mengapa melarang pihak media untuk mempoto (terkait Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang berisi; setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik-Red), akhirnya Sekdes Al Idrus mengijinkan, dan mengajukan penawaran lain.
“Kalau memang tidak akurat (bukti yang ada pada ahli waris-Red), apa bisa dihentikan? Dalam hal ini, menghentikan ahli waris untuk membuka permasalahan ini,” pinta Al Idrus.
“Hentikan dalam hal apa? Ya ga bisa pak Sekdes. Itukan haknya ahli waris. Dan bapak ga punya hak untuk menyuruh menghentikan. Sekarang pembuktian itu adalah haknya ahli waris untuk mencocokkan dari data yang ada di desa, bahwa tanah yang bersangkutan dibeli oleh si ini kemudian dijual ke si ini. Pelepasan hak dari yang ini, maka nanti kita akan buat laporan. Ahli waris merasa sudah memohon berkali-kali ke kantor desa ini. Kita hanya minta pihak desa bisa membuktikan dan memberikan keterangan dengan benar. Ahli waris punya girik, tapi didesa tidak ada. Di girik aslinya, masih ada nama bu Inah bin Daih, dan di komputer desapun masih sama. Tapi pas dibuku ini kok berubah dan ada coretan-coretan tulisan tangan,” tambah Ari yang semakin meminta kejelasan dari aparatur desa.
Sementara melihat sikap Ari, Al Idrus akhirnya berjanji akan membuat keterangan perjalanan jual beli atas tanah tersebut.
“Ya, kita paling bisa bikin keterangan. Kalau untuk surat keterangan jual beli, abang tunggu ajs kabar dari saya. Saya bikin nanti perjalanan jual beli dari (wa) Inah sampai dijual kesini dan terus kesini. Dan jika saya sudah berikan keterangan, sesuai janji abang untuk menghentikan urusan tanah ini saya minta dipegang janjinya,” ucap Al Idrus.
Usai pertemuan, kepada beritaindependentindonesia.com, Ari mengaku bingung melihat sikap sekdes Al Idrus yang begitu teguh seakan mempertahankan “alibi” pribadinya dan nyaris terlihat tidak memihak ke nasib warganya.
“Ada apa dengan sikap beliau? Seharusnta sebagai abdi masyarakat, dia menjadi penengah dan membantu kesulitan yang dihadapi warganya. Kalau memang warganya salah, kan bisa dijelaskan dimana letak salahnya. Dan kalau memang warganya ini butuh bantuan untuk mempertahankan haknya, ya sudah semestinya aparatur desa membantu. Jadi dengan sikap beliau, saya jadi bertanya-tanya. Ada apa? Hanya waktu yang bisa menjawab dengan segala bukti-bukti yang nanti kita dapat. Insya Allah, kebenaran itu akan terungkap. Dan kini, saya hanya menunggu janji Sekdes yang mau membeberkan sejarah peralihan tanah tersebut,” pungkas Ari sembari berlalu dari lingkungan kantor desa.
#dv-gun