Jakarta-BII
Air mata Hani Marcelina tidak kuasa dibendungnya, sambil menceritakan asal mula penyebab bangunan rumah beserta tanah yang ditempati keluarganya bisa diporak-porandakan oleh sekelompok orang “bayaran”, ibu dua anak ini sesekali menunjukkan dinding rumahnya yang hancur dan atap rumahnyapun kini nyaris beratapkan langit.
“Kami tetap tidur disini. Kalau hujan datang, maka saya dan keluarga beserta kakak saya juga akan terkena hujan. Habis mau tidur dimana lagi? Harta satu-satunya peninggalan orang tua kami hanya ini. Itupun dirampas orang lain,”tutur Hani saat dikunjungi beritaindependentindonesia.com di rumahnya, Kamis (04/11) malam.
Ya, beberapa hari lalu, bangunan lama yang berdiri diatas lahan seluas 460m2 yang berada di jalan Ganggeng XII, Tanjung Priok, Jakarta Utara ini dihancurkan oleh sekelompok orang. Bahkan beberapa dari mereka juga mengeluarkan semua perabotan milik keluarga almarhumah Agustina Mariana.
“Orang-orang A*mb*n itu sudah dua kali datang ke sini. Mereka disuruh sama Sopar Napitupulu. Dia ngakunya pengacara J. Supriyanto, yang mengaku sudah membeli rumah ini lewat lelang yang diadakan pihak bank. Padahal kami merasa tidak pernah mengagunkan sertifikat rumah berikut tanah ini ke pihak bank,”ujar wanita berdarah Maluku ini.
Dikisahkan olehnya, permasalahan ini berawal dari adanya hutang yang diajukan Heni kepada teman gerejanya bernama Vinny sebanyak enam belas juta rupiah tanpa persyaratan apapun dan hanya mengagunkan sertifikat rumah (dan tanah) atas nama Agustina Mariana Maireri, kemudian dibayar mencicil sebesar tiga juta rupiah.
“Pada sekitar tahun 2004 atau 2005, saya pinjam uang ke teman gereja sebesar enam belas juta rupiah tanpa perjanjian apapun, namun saya taruh sertifikat atas nsma mami saya. Terus saya sudah cicil tiga juta. Jadi hutang saya waktu itu hanya tinggal tiga belas juta. Terus ibu Vonny-nya minta dikembalikan karena ada keperluan mendesak. Lalu karena kami ada saudara bernama Ilona yang saat itu mau bantu, kemudian saudara kami itu menebus sertifikat itu. Kemudian tanpa sepengetahuan saya diapun menggunakan sertifikat itu untuk pinjam ke orang sebanyak 60 juta ke orang B*t*k(biasa dipanggil Ucok). Dan si Ucok itu datang ke saya, memberitahukan kalau saudara saya meminjam uang 60 juta dengan agunan sertifikat. Terus 3 tahun berjalan ternyata Ilona tidak bertanggung jawab, akhirnya pengakuan Ucok sertifikat itu dia taruh ke ibu Jaksa yang tinggal di Jakarta Selatan. Nah di ibu Jaksa ini udah hampir 100 juta (karena berikut bunga) pada tahun 2011. Akhirnya om saya ambil alih permasalahan ini melalui pak Dedi. Awalnya pengakuan pak Dedi, dia tidak akan memberi bunga, dan dia punya 100 juta, tapi sertifikat dipegang dia. Nyatanya pak Dedi ini mengganti nama sertifikat dari awalnya atas nama mami saya, Agustina Mariana Maireri jadi Didi Suryo. Nah yang rancunya, disertifikat yang sudah berganti nama itu, tanda tangan mami saya tertera tahun 2011, sementara mami saya meninggal tahun 2002. Jadi mana mungkin orang sudah mati bisa hidup lagi hanya untuk tandatangan balik nama?,” ujar Heni yang saat itu juga didampingi suaminya, Sugeng Harianto.
Hal yang sama juga ditambahkan Lucyana, kaka kandung Heni. Menurutnya, selama menempati rumah dan bangunan tersebut, mereka masih membayar pajak tanah dan bangunan (PBB) atas nama Agustina Mariana.
“Sampai 2020 kami masih membayar PBB atas nama Agustina Mariana (masih nama mami saya). Makanya kita bingung. Nah kenapa waktu orang bank datang sudah ganti Didi (pertama) terus yang terakhir J. Supriyanto. Tapi di Bank, di PBBnya sampai hari ini masih nama mami saya,” ujar Lucyana.
Prihal ini, Heni juga turut menambahkan, “Jadi sebenarnya pas orang bank pertama kali datang kitakan ga tahu, karena ga ngerasa minjam. Jadinya wajar saja kita bingung. Sampai hari ini aja kita ga tahu banknya itu letaknya dimana. Cuma waktu itu, orang itu sempat ngaku dari Bank Mandiri Syariah yang di jalan Matraman, kalau ga salah itu tahun 2013. Jadi mereka datang dan bilang kalau mereka sempat ke rumah pak Didi (orang yang pertama ganti nama sertifikat dan yang menaruh sertifikat kita di bank) yang ada di Tangerang. Jadi pengakuan dia waktu itu ke bank, dia punya rumah besar di Tangerang, tapi ternyata hanya ngontrak. Baru orang bank ke rumah yang satu lagi (sesuai alamatnya pak Didi), dan menurut pihak bank, yang harus diagunkan itu ada dua rumah termasuk rumah ini. Makanya setelah orang bank datanglah, kita tahu cerita ini.”
Kecurigaan Heni atas permasalahan ini juga semakin bertambah, dimana pihak bank baru melakukan crosschek ditahun 2013.
“Yang lucunya lagi, papi saya kan meninggal tahun 2013, kok pihak bank baru datang setelah papi saya meninggal. Dan waktu pas papi saya sudah meninggal, barulah orang bank bertanya gimana-gimananya. Lalu pada tahun 2015 saya pun membuat laporan ke polres Jakarta Utara. Namun saat di Polres Jakarta Utara, tidak sengaja menemukan pak Dedi Limanto (yang saya titip sertifikat itu), dan pengakuan dia, saat itu dia sedang membuat laporan kalau anak buahnya telah membawa lari motor perusahaannya. Terus saya berpikir dalam hati, kok bisa samaan.
Waktu itu (tahun 2015), penyidik bilang ke saya akan melayangkan surat ke pengadian dan ke bank agar tidak ada orang yang ngaku-ngaku memiliki sertifikat. Tapi pas tahun 2019, J Suprianto ini ternyata sudah beli di pelelangan. Padahal dari pihak bank tidak ada pemberitahuan kalau tanah kami mau dilelang. Namun sebelum-sebelumnya hampir tiap hari ada aja orang yang datang memantau rumah kami bahkan sampai ke RT RW yang mengaku bahwa sudah membeli tanah kami melalui lelang. Padahal waktu (tahun 2015) itu, pihak penyidik meyakinkan saya kalau tidak akan ada yang datang. Dan waktu itu penyidiknya bernama Haris Munandar. Sekarang dia sudah menjabat sebagai Sekretaris Polres Jakarta Utara. Nah waktu itu juga pak Haris itu menyarankan agar saya ke notaris Slamet (katanya sih notaris Slamet ini juga blacklist). Sayapun mendatangi kantor notaris itu, dan balik nama itu ternyata disitu. Setelah saya baca dengan seksama, nah saya menemukan kejanggalan juga. Tandatangan mami saya salah ditambah lagi tahunnya juga ga benar. Karena di tahun itu mami saya sudah meninggal. Saya juga pernah datangi pihak kelurahan. Waktu itu mau membuat laporan ke polisi, kan sebelumnya kita buat surat ahli waris terlebih dahulu. Eh pas kesininya, mulailah ada orang yang datang seolah-olah mengintimidasi keluarga kami. Kalau datang membawa orang-orang A*b*n. dan itu atas suruhan pengacaranya J Suprianto, namanya Sopar Napitupulu. Menurut pak Sopar itu rumah saya nomornya 86, padahal dari saya sejak kelas 3 SD itu rumah saya bernomor 84. Dan nomor rumah saya ga berubah-berubah ini dari pemerintah. Nah mungkin dia sudah bingung mau berbuat apa lagi, terus dia bayar orang-orang mulai pertama datang lima orang, terus sepuluh orang dengan gaya premanismenya, dan waktu pertama datang mereka mau eksekusi, dan mensomasi. Terus membawa orang-orang A*b*n dan polisi. Tapi pas saya bilang ini nomor rumahnya salah. Terus mereka akhirnya pergi. Dan beberapa hari lalu mereka datang lagi. Langsung merusak bangunan rumah kami,”terang Heni.
Lebih lanjut Heni mengaku, permasalahan yang awalnya hanya bernilai kecil hingga menjadi ratusan juta ini, sempat membuat dia dan keluarga yang menempati rumah itu putus asa dalam meminta perlindungan hukum.
“Dirumah ini kami adik kakak tinggal disini. Kami orang susah. Waktu kejadian pengrusakan rumah dan tanah kami di pasang plang bahwa sudah berpindah kepemilikan berdasarkan lelang bank tanpa lewat pengadilan, kami pun melapor ke pihak kepolisian, tapi polsek ga mau terima laporan pengaduan saya. Malah pihak polsek bilang ibu ga ada buktikan? Kalau ibu mau lapor ke Polres aja. Nah pihak RT dan RW juga ga mau ikut campur. Ditambahlagi, saat saya sedang kebingungan, si Sopar Napitupulu sempat bilang ke saya ibu bohong. Ibu bedua sudah pernah ke bank. Boro-boro ke bank, banknya aja kami ga tahu. Alasan peminjama uang itu katanya buat mendirikan bangunan ini. Kok ya bodoh banget apa kita, uang 550 juta ditambah 350 juta ga bisa bangun rumah. Sementara bangunan ini adalah bangunan dari awal yang dibangun oleh papi saya. Kalau uang sebanyak itu masa sih kita ga gunakan buat modal. Kami ini susah, bahkan kami aja masih dibantu dari BLT bahkan anak saya aja dapat KJP. Kalau saya ada uang segitu, kami ga akan begini. Untung masih ada saudara saya yang mau membantu untuk membela kami dalam menghadapi masalah ini,” ujar anak kelima dari lima bersaudara ini.
Hani dan kedua saudara kandungnya juga berharap agar mendapatkan keadilan atas hak mereka.
“Saya berharap sekali agar para penguasa hukum bertindak adil. Hak kami sudah dirampas. Lalu kami harus mengadu ke siapa lagi kalau bukan ke kalian?,” pungkas Hani sambil terisak memohon keadilan hukum.
Sementara, saat memantau area yang sudah berdiri plang “Penguasaan Lahan” yang dipancang oleh Sopar Napitupulu melalui orang suruhannya, tim media juga sempat mewawancarai srikandi sekaligus Kepala Bidang OKK DPP Maluku Satu Rasa (M1R), Glori Mairering yang kebetulan juga tengah berkunjung dan akan membela hak-hak keluarga besar Hani yang sudah dirampas secara sepihak.
Bagi Glori, permasalahan ini sudah menyangkut adanya unsur pemalsuan data dan juga intimidasi yang dilakukan pihak-pihak yang hendak merampas rumah dan tanah milik almh. Agustina Mariana, yang tidak lain juga tante wanita berdarah Maluku ini.
“Saya sangat menyayangkan kejadian ini. Terlebih yang melakukan pengrusakan di rumah tante saya ini adalah orang-orang yang tergabung dengan M1R. Mereka di perintah orang B*t*k bernama Sopar Napitupulu. Dan dalam pengrusakan itu ada orang-orang yang saya kenal. Saya tegaskan, di M1R saya masih menjabat sebagai ketua OKK DPP, mereka ga menghargai saya dan juga tidak menghargai KBMTR, Terlepas dari hubungan saudara, saya juga berkewajibsn membela srikandi-srikandi ini, karena selain Kabid OKK, saya juga bertugas ke Pemberdayaan Perempuan,”tegas Glori.
Lebih lanjut Glori menegaskan, atas kejadian perampasan hak saudaranya ini, dia didampingi lawyer Misi Derlon akan mempidanakan semua pihak (pelaku) terkait.
“Kita akan proses dan segera kita pidanakan. Mulai dari Lawyernya yang dari B*t*k yang juga bayar Am**n-Am**n sampai semua yang datang dieksekusi pertama dan kedua. Kita juga didampingi pengacara, abang Misi Derlon sebagai penasehat dari Jargaria karena dari KBM ntar ada empat pilar, yakni dari Key Latungabal, Tuanlola itu Tanimbar, Jargania itu (kami) Aru, dan yang keempat MBD itu sampai Kisar, Tepa, Moa sampai nusatenggara jauh, itu disatukan dalam satu wadah organisasi Keluarga Besar Maluku Tenggara Raya dan sudah ada ijin di Kesbangpol.
Kami akan pakai jalur hukum dulu. Namun jika masih ada pengrusakan dan intimidasi lagi, maka kita tidak akan teloransi. Dan orang yang kita cari pertama kali adalah si B*T*k ini,” pungkas wanita berambut plontos ini mengakhiri perbincangan.
#tim